Krisis multidimensional yang tengah melanda bangsa Indonesia telah menyadarkan kepada kita semua akan pentingnya menggagas kembali konsep otonomi daerah dalam arti yang sebenarnya. Gagasan penataan kembali sistem otonomi daerah bertolak dari pemikiran untuk menjamin terjadinya efisiensi, efektivitas, transparansi, akuntabilitas, dan demokratisasi nilai-nilai kerakyatan dalam praktik penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
Selama masa Orde Baru, harapan yang besar dari Pemerintah Daerah untuk dapat membangun daerah berdasarkan kemampuan dan kehendak daerah sendiri ternyata dari tahun ke tahun dirasakan semakin jauh dari kenyataan. Yang terjadi adalah ketergantungan fiskal dan subsidi serta bantuan Pemerintah Pusat sebagai wujud ketidakberdayaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dalam membiayai Belanja Daerah.
Kritik yang muncul selama ini adalah Pemerintah Pusat terlalu dominan terhadap Daerah. Pola pendekatan yang sentralistik dan seragam yang selama ini dikembangkan Pemerintah Pusat telah mematikan inisiatif dan kreativitas Daerah. Pemerintah Daerah kurang diberi keleluasaan (local discreation) untuk menentukan kebijakan daerahnya sendiri. Kewenangan yang selama ini diberikan kepada Daerah tidak disertai dengan pemberian infrastruktur yang memadai, penyiapan sumber daya manusia yang profesional, dan pembiayaan yang adil. Akibatnya, yang terjadi bukannya tercipta kemandirian Daerah, tetapi justru ketergantungan Daerah terhadap Pemerintah Pusat.
Dampak dari sistem yang selama ini kita anut menyebabkan Pemerintah Daerah tidak responsif dan kurang peka terhadap aspirasi masyarakat daerah. Banyak proyek pembangunan daerah yang tidak menghiraukan manfaat yang dirasakan masyarakat, karena beberapa proyek merupakan proyek titipan yang sarat dengan petunjuk dan arahan dari Pemerintah Pusat.
Pemerintah Pusat melakukan campur tangan terhadap Daerah dengan alasan untuk menjamin stabilitas nasional dan masih lemahnya sumber daya manusia yang ada di Daerah. Karena dua alasan tersebut, sentralisasi otoritas dipandang sebagai prasyarat untuk menciptakan persatuan dan kesatuan nasional serta mendorong pertumbuhan ekonomi. Pada awalnya pandangan tersebut terbukti benar. Sepanjang tahun 70-an dan 80-an, misalnya, Indonesia mengalami pertumbuhan yang berkelanjutan dan stabilitas politik yang mantap. Namun dalam jangka panjang, sentralisasi seperti itu telah menimbulkan ketimpangan dan atau ketidakadilan, rendahnya akuntabilitas, lambatnya pembangunan infrastruktur sosial, rendahnya tingkat pengembalian proyek-proyek publik, serta memperlambat pengembangan kelembagaan sosial ekonomi di daerah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar